Kecerdasan
ini ditemukan pada sekitar tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai
pengukur kualitas seseorang pada masanya saat itu, dan ternyata masih juga di
Indonesia saat ini. Bahkan untuk masuk ke militer pada saat itu, IQ lah yang
menentukan tingkat keberhasilan dalam penerimaan masuk ke militer.
Kecerdasan
ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah
kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, bernalogi,
berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya
diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan “What I Think“.
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
Mulai
menjadi trend pada akhir abda 20. Kecerdasan ini di otak berada pada otak
belakang manusia. Kecerdasan ini memang tidak mempunya ukuran pasti seperti IQ,
namun kita bisa merasakan kualitas keberadaannya dalam diri seseorang. Oleh
karena itu EQ lebih tepat diukur dengan feeling.
Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami suatu kondisi
perasaan seseorang, bisa terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Banyak orang
yang salah memposisikan kecerdasan Emosional ini di bawah kecerdasan
intelektual. Tetapi, penelitian mengatakan bahwa kecerdasan ini lebih
menentukan kesuksesan seseorang dibandingkan dengan kecerdasan sosial.
Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel
Pertama
kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard
University dan Oxford University. Dikatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah
sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya.
Kecerdasan
ini terletak dalam suatu titik yang disebut dengan God Spot. Mulai populer pada
awal abad 21. Melalui kepopulerannya yang diangkat oleh Danar Zohar dalam
bukunya Spiritual Capital dan berbagai tulisan seperti The Binding Problem
karya Wolf Singer.
Kecerdasan
inilah yang menurut para pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan
ini menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini
menjawab dan mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya?
Untuk apa saya diciptakan?
Bagaimana Kecerdasan Intelektual (IQ) Saja Tanpa Kecerdasan Emosional (EQ)?
Sahabatku,
banyak di dunia ini hanya diukur dari kecerdasan IQ saja. Padahal menurut
penelitian para pakar, kecerdasan IQ hanya menyumbang 5% (maksimal 10%) dalam
kesuksesan seseorang. Mulai dari kita belajar di Sekolah Dasar dari sistem NEM
sampai kuliah dengan sistem IPK. Bahkan tidak jarang banyak perusahaan yang
merekrut seseorang berdasarkan dari test IQ saja.
Seperti
apa IQ tanpa EQ?
Coba
kita pahami melalui kisah berikut:
Eki
memang tidak terlalu pintar dalam mata kuliah statistik. Entah kenapa pelajaran
ini terasa berat dan susah ‘nyantol’ di otaknya. Di semester kemaren dia
mendapatkan nilai D untuk pelajaran ini. Namun Eki tidak putus asa, semester
berikutnya dia mencoba lagi. Berbagai ramuan penahan rasa kantuk dia minum
hampir setiap malamnya hanya untuk menjadi teman penahan agar tetap melek dan
konsen dalam belajar. Akhirnya masa akhir semester pun tiba, dan kini dia
mendapatkan nilai B. Betapa senangnya Eki ketika itu, rasanya ingin dia
memberikan bingkai figura daftar nilai B tersebut dan memasangnya di kamar
untuk jadi kenangan sampai akhir hidup.
Di
saat kesenangannya itu dia bercerita kepada Iko salah satu seorang temannya.
“Ko akhirnya statistik ku dapet nilai B“, ujar Eki dengan hebohnya bagai
mendapatkan durian runtuh.
“Ah
baru dapat nilai B saja udah seneng, aku yang dapet A aja biasa-biasa aja“,
sahut Iko. Iko memang terkenal pintar di kelasnya. Tak pernah luput darinya rangking
3 besar semenjak SD.
Eki
yang saat itu sedang berbinar-binar tiba-tiba langsung menciut hatinya ketika
mendegar komentar dari Iko. Bagaikan kompor yang sedang menyulut tinggi
tiba-tiba padam karena tersiram air.
Coba kita lihat bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Iko. Memang dia pintar,
tetapi tidak mampu memahami perasaan yang dialami oleh Eko. Banyak orang di
dunia ini yang pintar namun tidak mampu berkomunikasi secara perasaan kepada
orang lain. Bagaikan paku yang pernah dihujam ke sebatang kayu, walaupun bisa
dicopot kembali namun lubang itu akan masih tetap ada.
Sekarang kita lihat bagaimana EQ bekerja terhadap situasi seperti ini:
“Hi,
kenapa kamu terlihat sedih hari ini Ki?” sapa Intan begitu masuk ke kelas.
“Yah,
aku cuman dapet nilai B dalam statistik” ujar Eki dengan nada lesu karena habis
terciutkan oleh perkataan si Iko.
“Wow
hebat donk, kamu ngulang lagi kan kemaren gara-gara dapet D. Bagus donk
sekarang dapet B“, hibur Intan kepada Eki.
“Iya,
tapi si Iko dapet A dan begitu aku cerita kepadanya….“
“Yaah…
kamu tau sendiri kan si Iko orangnya gimana? Tak perlu risau, udahlah jangan
kau masukkan ke dalam hati omongan dia. Aku tahu koq perjuangan kamu, kamu udah
berusaha giat untuk mengejar nilai ini. Dan ingat tidak bahkan hampir setiap
minggu kamu bertanya kepada orang tentang pelajaran ini yang gak kamu ngerti.
Malah aku salut ngelihat mahasiswa kayak kamu Ki” ujar Intan membanggakan Eki.
Dan senyuman Eki mulai terlihat di bibirnya.
Begitulah
EQ itu bekerja dan mampu memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ dan
komunikasinya yang baik mampu memberikan apresiasi ke dalam diri sendiri dan
orang lain seperti yang dilakukan Intan. Walau Intan sebenarnya juga tidak
kalah pintarnya dalam pelajaran dibandingkan Iko, namun dia juga pintar
memahami perasaan orang lain. EQ membantu kita menjadi seseorang yang sukses
dalam bersosial dan berkehidupan.
Bagaimana
Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) Tanpa Kecerdasan
Spiritual (SQ)?
Kita
sudah paham apa itu IQ dan EQ serta bagaimana keduanya apabila bekerja
bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan tersebut tidak disinergikan dengan
SQ maka akan berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah untuk menjadi “ahli pertapa”,
duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seperti apa punya IQ dan EQ tanpa SQ?
Banyak
orang cakap dan pintar di dunia ini, salah satunya adalah Hittler. Kita semua
mengenal Hittler sebagai pemimpin yang handal. Mampu mempengaruhi sebagian
belahan dunia untuk berada di dalam kekuasaannya. Perlu diketahui pula, hittler
termasuk salah seorang pempimpin yang hebat dalam hal IQ dan EQ. Buktinya dia
mampu dielu-elukan oleh para pengikutnya. Bahkan ada sebuah statemen yang
berasal dari dia, “Seribu kebohongan akan menjadi satu kebenaran“.
Namun
dibalik kejayaannya, dia mempunyai niatan yang buruk. Tujuan yang tidak mulia.
Itulah gambaran cakap IQ dan EQ namun tanpa SQ, tidak menyadari makna/value
dalam diri serta siapa dirinya dan untuk apa dirinya diciptakan.
Contoh
lain adalah, Yakuza. Kita mengenal berbagai bentuk sindikat di dunia. Kalau di
Itali ada namanya mafia, di Jepang dikenal dengan Yakuza. Sebuah sindikasi
Yakuza terdiri dari orang-orang yang hebat dan solid. Mereka memiliki kemampuan
berbisnis dan berorganisasi dengan cakap. Kultur mereka mempunyai semangat
juang yang tinggi, loyalitas yang hebat, serta solidaritas yang kuat. Namun
jeleknya tujuan mereka (pemaknaan/value) bukan pada tujuan yang mulia. Bahkan
apabila mereka melakukan kesalahan yang mengakibatkan membahayakan temannya,
mereka harus memotong jari mereka.
Bagaimana di Indonesia? Tentu saja di Indonesia terdapat banyak orang pintar
dan cakap (dan saya sangat yakin itu). Tetapi banyak yang berakhlak dan
bermoral buruk. Bagaimana dengan koruptor? Tentu saja menjadi seorang koruptor
harus memiliki EQ dan IQ yang baik. Dia cerdas dan harus jago berstrategi. Jago
bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang untuk mau diajak
berspekulasi dan berkompromi dengannya. Semangat juang tinggi? Tentu, mereka
nampak selalu prima dan percaya diri. Namun akhlak dan moralnya? Masih bobrok.
Itulah cakap IQ dan EQ namun tidak memiliki SQ.
Bahkan
menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang
dijiwai dengan SQ. Banyak seseorang yang diPHK dari pekerjaannya bukan karena
mereka tidak pintar, bukan karena mereka tidak pintar mengoperasikan sesuatu,
bahkan bukan karena ketidak mampuannya berkomunikasi. Tetapi karena tidak
memiliki integritas. Tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.
Inilah gambaran bagaimana SQ masih belum bekerja di banyak sistem di bumi
ini.
IQ digambarkan sebagai “What I think?“, EQ “What I Feel”, dan SQ adalah
kemampuan menjawab “Who I am“. Siapa saya? Dan untuk apa saya diciptakan. Tuhan
Maha Adil, sebenarnya kita memiliki semua kecerdasan ini tetapi tidak pernah
kita asah bahkan kita munculkan. Untuk menjadi seorang pribadi yang sukses kita
harus mampu menggabungkan dan mensinergikan IQ, EQ, dan SQ. Ilmu tanpa hati
adalah buta, sedangkan ilmu tanpa hati dan jiwa adalah hampa. Ilmu, hati, dan
jiwa yang bersinergi itulah yang memberikan makna.
http://www.sekolahdasar.net/2009/10/kecerdasan-intelektual-iq-kecerdasan.html